Konon di suatu hutan lebat nan perawan di negeri antah-berantah, terdapat lima orang bersaudara yang sedang tersesat didalamnya. Saat malam gelap-gulita menjelang dimana hembusan anginnya yang dingin terus membelai raga, salah seorang dari kelima besaudara itu berkata,
“jika kita hanya duduk diam disini, ditengah hutan yang lebat tanpa cahaya api guna menghangatkan badan, maka kita akan mati kedinginan. Ayo saudaraku, bangkit dan carilah sumber api itu agar badan kita tetap hangat…”
Maka berkata pula salah seorang lainnya,
“ayo… tapi kita harus mencarinya dengan cara berpencar. Dan ketika terdengar ayam hutan telah berkokok, maka kita kembali dan berkumpul lagi di sini. Jika salah seorang atau lebih dari kita tidak kembali, maka sudah kewajiban kita semua untuk mencarinya dengan mengikuti jejak tanda yang ia tinggalkan selama perjalanannya…”
Yang lainnya ikut setuju, dan perjalanan petualangan itupun dimulai.
Salah seorang saudara yang usianya paling muda diantara saudara lainnya terus-menerus melangkahkan kaki sendirian ditengah hutan yang gelap tanpa mempedulikan seandainya ada binatang buas sedang mengintainya. Pikirannya hanya tertuju pada bagaimana ia menemukan sumber api yang bisa menghangatkan raga dan menerangi jiwa. Hingga akhirnya, pemuda itu kelelahan dan jatuh tersungkur diatas tanah yang becek. Dengan pandangan mata yang kabur, samar-samar ia melihat sebuah pohon yang sangat besar dimana pada batang paling bawahnya terlihat ada cahaya yang mengelilinginya.
Segenap kemampuannya, pemuda itu mencoba berdiri lagi guna mendekati pohon besar itu dan mulai menerka-nerka, cahaya apa yang ada disekelilingnya. Ternyata ia menyadari bahwa cahaya itu adalah cahaya api yang melambai-lambai terpancar dari tiga batang lilin yang mengelilingi pohon itu. Namun, tepat pada saat ia sadar maka pada saat itu pula udara yang semakin dingin menghembuskan anginnya dengan lebih kencang lagi. Hingga pemuda itu tersentak kaget dan mulai berlari mendekati lilin pertama agar lilin itu tidak padam tertiup angin. Namun apa daya, alam berkata lain. Lilin yang dengan segenap upaya mempertahankan pancaran apinya pun padam akibat terpaan angin hingga menyisakan kegelapan disisinya. Lilin pertama itu bernama Lilin Cinta.
Tak pantang dan tak surut semangat, akhirnya pemuda itu mencoba mendekati lagi lilin yang kedua yang ternyata pancaran apinya sudah berada dalam kondisi sakrtatul. Belum lagi pemuda itu berhasil melindungi cahaya api lilin itu dari hembusan angin yang semakin kencang, ternyata lilin itu telah mengikuti jejak lilin yang pertama, yaitu Apinya telah padam. Lilin kedua itu bernama Lilin Semangat.
Setengah putus asa dan dengan segenap kemampuannya yang sudah sangat lelah, akhirnya ia mencoba berlari mendekati lilin ketiga, dimana lilin itupun sudah dalam keadaan sakratul. Apinya mengecil dan mulai meredup, namun pemuda itu dengan tanggap berhasil melindungi lilin mungil itu agar tidak mengikuti jejak lilin sebelumnya. Ditelungkupkannya badan pemuda itu tepat diatas cahaya api lilin yang sedikit lagi padam agar terhindar dari hembusan angin dingin yang semakin kencang. Dengan perasaan iba, pemuda itu akhirnya menangis dan berkata kepada lilin ketiga,
“wahai lilin, janganlah apimu ikut padam sebagaimana lilin cinta dan lilin semangat. Tetaplah engkau menyala agar apimu dapat dipakai guna menghidupkan kembali kedua lilin yang padam itu. Kumohon, pertahankan apimu agar kegelapan ini bisa menjadi terang-benderang… kumohon..!!”
Pemuda itu sebenarnya ingin mengambil lilin cinta dan lilin semangat agar bisa dinyalakan kembali melalui api lilin yang ia lindungi. Namun ia menyadari, bahwa apabila ia bangkit berdiri dan mengambil kedua lilin itu, maka lilin ketiga pasti akan padam hingga pupuslah semuanya. Pemuda itu juga tahu bahwa keempat saudaranya sebentar lagi akan datang mencarinya, sehingga keempat saudaranya itulah yang nantinya akan mengambilkan kedua lilin yang telah padam itu guna menyalakannya.
Karena tubuh pemuda itu sangat lelah dan disambut juga terpaan angin dingin yang mulai mengganas, akhirnya pemuda itu mati dan menyisakan cahaya api yang tetap melambai dibawah badannya yang telungkup.
Tak lama kemudian, keempat saudaranya datang mencarinya. Karena posisi lilin ketiga berada dibalik pohon besar, maka keempat saudaranya itu belum bisa melihat jasad saudaranya yang terbaring kaku melindungi cahaya api lilin. Sebaliknya, pertama kali yang ditatap oleh mata keempat bersaudara itu ialah lilin cinta yang sudah padam dan mulai basah, dilanjutkan dengan melihat lilin semangat yang juga sudah mulai basah akibat embun. Keempat bersaudara itu melanjutkan dengan melihat ke sisi belakang pohon dan akhirnya menemukan jasad saudaranya yang mati dalam keadaan telungkup. Diangkatnya jasad saudara mudanya hingga keempat bersaudara itu melihat ada cahaya api lilin yang masih melambai-lambai laksana tarian bidadari yang sanggup menghidupkan suasana yang beku. Keempat saudaranya dengan keadaan sedih nan pilu akhirnya menyadari bahwa saudara termudanya rela mengorbankan nyawa agar supaya api lilin cinta dan api lilin semangat dapat dinyalakan kembali melalui api lilin yang ia lindungi, yaitu Api Lilin Harapan.
Keempat bersaudara itu akhirnya menyalakan lilin cinta dan lilin semangat melalui api lilin harapan, dan mereka pun menyadari bahwa ketika Api Cinta telah padam, dan ketika Api Semangat pun juga turut padam, maka janganlah memadamkan Api Harapan, sebab Api Harapan itulah yang nantinya akan menghidupkan kembali Api Cinta dan Semangat hingga menghangatkan kehidupan setiap jiwa manusia.